Minggu, 08 Mei 2011

cooperative farming

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut paling luas dibandingkan dengan negara kepulauan lain. Hal ini menyebabkan sektor pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan pada perkembangan pertanian yang maju, tangguh dan efisien serta bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri (Mubyarto, 1995).
Sektor pertanian merupakan penyedia pangan yang penting dalam menjaga stabilitas negara. Kontribusinya dalam menyumbang devisa dan dukungannya terhadap sektor industri tidak boleh diabaikan. Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia sebagian besar dibangun oleh petani dengan unit usaha yang relatif sempit. Keadaan pelaku usaha pertanian tersebut setiap tahun semakin bertambah jumlahnya dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia. Pertanian masih merupakan sektor yang penting, sebab sektor ini menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebanyak 104,485,444 orang, 41,53 persen bekerja di sektor pertanian (Badan Pusat Statistik, Februari 2010).
Pembangunan sektor pertanian sudah selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi atau terpenuhinya kebutuhan pangan secara nasional, tetapi juga harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat petani. Pembangunan pertanian merupakan bagian yang terintegral dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Pembangunan yang dilakukan sudah semestinya mengandung nilai-nilai: (a) Tercapainya swasembada, dalam arti kemampuan masyarakat untuk memenuhi atau mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar yang mencakup: pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dasar, dan keamanan; (b) Peningkatan harga diri, dalam arti berkembangnya rasa percaya diri untuk dapat hidup mandiri terlepas dari penindasan dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka; dan (c) Diperolehnya kebebasan, dalam arti kemampuan untuk memilih alternatif-alternatif yang dapat dilakukan untuk mewujudkan perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan secara terus menerus bagi setiap individu maupun seluruh warga masyarakatnya.
Dalam menghadapi tantangan perekonomian pasar serta menyongsong era globalisasi, keberhasilan proses pembangunan pertanian tergantung pada penguasaan teknologi pertanian oleh petani dan kemampuan bersaing dari para petani suatu negara. Kondisi ini akan sulit mengingat kebanyakan pelaku usaha pertanian di Indonesia adalah petani-petani kecil. Di sisi lain, petani hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang bagi usaha di luar pertanian (on-farm atau off-farm). Usaha petani tidak cukup besar untuk merespons kelebihan tenaga kerja.
Karakteristik usahatani (Kasus usahatani padi pada agroekosistem sawah di Jawa) dengan penguasaan lahan yang sempit, part time farmer dan rendahnya kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani, maka intensitas perhatian petani pada usahataninya hanya sekedar untuk kebutuhan subsistem saja. Tidaklah mengherankan apabila selama periode 1973-1995 produktivitas faktor produksi total komoditas padi mengalami penurunan (Syafa’at, 2000). Dengan demikian apabila kegiatan usahatani diserahkan kepada masing-masing individu tidak mungkin menghasilkan tindakan yang efisien dalam pengelolaan sumberdaya pertanian. Demikian juga dengan pendekatan kelompok yang masih menyerahkan keputusannya pada masing-masing individu dalam kelompok yang bersangkutan.
Program-program pembangunan pertanian selama ini belum berpihak kepada petani kecil yang jumlahnya sangat banyak. Selain penguasaan lahan yang sempit, keterbatasan akses pada faktor produksi yang lain menjadi sebab keterpurukan petani. Situasi ekonomi yang ada, dengan ekonomi pasar dan kebijakan pertanian yang tidak berpihak ke petani semakin mendorong petani ke arah marginalisasi secara ekonomi dan sosial. Kondisi ini semakin parah karena sumberdaya manusia petani belum mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, selain pengaruh nilai-nilai budaya yang menyebabkan petani semakin terjebak dalam dalam kemiskinan.

1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan permasalahan kemiskinan yang dialami petani khususnya di Indonesia?
2. Bagaimana langkah strategis pengembangan Cooperative Farming guna mengentaskan kemiskinanpetani Indonesia?
3. Bagaimana langkah dan peran nyata mahasiswa di Cooperative Farming dalam mengentaskan kemiskinan di tingkat petani gurem di Indonesia?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui keadaan permasalahan kemiskinan yang dialami petani khususnya di Indonesia.
2. Untuk langkah strategis pengembangan Cooperative Farming guna mengentaskan kemiskinanpetani Indonesia.
3. Untuk mengetahui langkah dan peran nyata mahasiswa dalam mengentaskan kemiskinan di tingkat petani gurem di Indonesia.

1.3.2 Manfaat
1. Sebagai bahan wacana dan informasi untuk mahasiswa dan dapat digunakan dalam penelitian lebih lanjut.
2. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan penanggulangan kemiskinan terutama di kalangan petani



























BAB III. ANALISIS DAN SINTESIS

Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil sumberdaya alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan daratan yang cukup luas yang tersusun rapi oleh ribuan pulau yang ada seolah menetapkan bahwa negara kita adalah negara agraris. Memang tak dapat dipungkiri, namun hal tersebut lah yang menjadi sumber mata pencaharian dari sekitar 60 % rakyatnya yang kemudian menjadi salah satu sektor rill yang memiliki peran sangat nyata dalam membantu penghasilan devisa negara. Secara umum pengertian dari pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang termasuk di dalamnya yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan dan juga kehutanan. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Indonesia adalah sebagai petani, sehingga sektor pertanian sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia.
Menurut Pranadji (2003), program pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan nasional, sehingga dalam pembangunan nasional tercermin pembangunan pertanian dan pedesaan. Kegagalan pembangunan nasional terutama dalam bentuk krisis multi dimensi, maka akan membawa imbas yang besar terhadap pembangunan pertanian dan pedesaan. Ditinjau dari perspektif pembangunan pertanian secara luas, pembangunan pertanian dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani melalui perluasan lapangan kerja, kesempatan berusaha serta mengisi dan memperluas pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Sektor pertanian yang maju, efisien dan tangguh akan dapat meningkatkan mutu dan menganekaragamkan jenis komoditi. Kesemuanya itu semakin meningkatkan kemampuan sektor pertanian dalam pengolahan hasil dan pemasaran.
Sangat indah terdengar di telinga kita akan pembangunan pertanian selama tahun 1970-an dan 1980-an sudah cukup berhasil yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDB sektor pertanian rata-rata 3,2 % per tahun. Swasembada beras dapat dicapai pada tahun 1984, dan telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan tahun 1980-an. Swasembada beras ini hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Produktivitas padi Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara dan Asia Selatan, upah tenaga kerja pertanian dan harga pupuk terendah di Asia Tenggara, karenanya Indonesia memiliki keunggulan kompetitif beras sebagai substitusi impor. Dengan demikian adalah kurang beralasan secara ekonomis menetapkan harga beras (harga dasar) dalam negeri jauh di atas harga pasar dunia dan menetapkan pajak impor yang berlebihan. Meskipun swasembada beras tersebut hanya dapat kita rasakan sampai tahun 1993, tetapi sektor pertanian bukan berhenti begitu saja. Gong pembangunan pertanian dimulai kembali pada awal era reformasi, mengingat sumbangsih yang besar dari sektor pertanian dalam menopang roda perekonomian pada masa krisis moneter yang melanda sejak pertengahan 1997 utamanya pada upaya stabilisasi kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah (Arham, 2008).
BPS menyebutkan bahwa pada tahun 1999 angka kemiskinan di Indonesia mencapai 47,97 juta jiwa dan turun pada tahun 2003 menjadi 35,68 juta jiwa. Dari jumlah 35,68 juta jiwa itu, 22,69 juta orang berada di pedesaan. Karena sebagian besar warga pedesaan bermata pencaharian sebagai petani, maka artinya sebagaian besar masyarakat miskin negeri ini adalah mereka yang status mata pencahariannya bertani atau disebut dengan petani. Data pada 2001 mengungkapkan 55% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani. Faktor penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor alam seperti kondisi geografis yang tidak mendukung, Kedua, kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur masyarakat yang terjadi akibat adanya ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat tersebut.

Tabel 1. Perkembangan Sektor Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Lapangan Pekerjaan
Jenis Lapangan Kerja 2008 (Februari) 2008
(Agustus) 2009 (Februari)
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 42,689,635 41,331,706 43,029,493
Pertambangan dan Penggalian 1,062,309 1,070,540 1,139,495
Industri Pengolahan 12,440,141 12,549,376 12,615,440
Listrik, Gas dan Air 207,909 201,114 209,441
Bangunan 4,733,679 5,438,965 4,610,695
Perdagangan, Eceran, Rumah Makan dan Hotel 20,684,041 21,221,744 21,836,768
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 6,013,947 6,179,503 5,947,673
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Per 1,440,042 1,459,985 1,484,598
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Peorangan 12,778,154 13,099,817 13,611,841
Total 102,049,857 102,552,750 104,485,444
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Subsector pertanian terdiri dari subsector hulu hingga subsector hilir. Subsector hulu dimana disini terjadi perencanaan usaha tani meliputi, pemupukan, pemilihan bibit unggul, pengolahan lahan tanam hingga proses irigasi. Subsector ini berlanjut dari proses produski (penanaman) kemudian ke agroindustri. Di subsector ini komoditas primer diubah menjadi produk yang lebih bernilai harganya dan mampu menjadi produk yang lebih dibutuhkan masyarakat. Komoditas primer yang seringkali bernilai rendah disebabkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian yang kurang maksimal. Kejadian ini tidaklah sepenuhnya milik petani melainkan merupakan hasil dari ketidakterlibatan pemerintah, lembaga keuangan, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan Cooperative Farming.
Modal seringkali menjadi masalah yang diutamakan oleh petani. Berbagai program yang telah dicanangkan oleh pemerintah serasa hialng tak berbekas dalam prakteknya dan dirasa tak mengena sama sekali terhadap petani. Akibatnya system agribisnis mereka tidak berjalan secara efisien dan tingkat saprodi menjadi amat rendah. Posisi tawar menawar pada saat panen yang lemah dikarenakan tidak adanya lembaga pemasaran yang bermitra dengan petani (selain tengkulak) sehingga petani semakin terjerat dalam lingkaran garis setan kemiskinan. Kuantitas dan kualitas yang dihasilkan petani seringkali rendah hal ini dikarenakan petani dalam berusaha tani masih berorientasi hanya untuk pemenuhan konsumsi dalam keluarga tidak berorientasi pada pasar (market oriented). Ketiadaan lembaga-lembaga baik lembaga keuangan maupun lembaga sosial di pedesaan makin menjerumuskan petani dalam ketergantunagn kepada tengkulak yang seringkali merugikan mereka. Padahal lembaga-lembaga ini sangat diperlukan petani dalam pemasaran hasil komoditasnya, info pasar dan penajmin modal keuangan. Meskipun tidak bias berbasis teknologi tinggi, tetapi landasan sektor pertanian yang kokoh diperlukan dalam memacu pertumbuhan perekonomian sekaligus mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan.
Permasalahan lain yang menyebabkan petani tetap miskin, ialah permasalahan kepemilikan, penguasaan lahan. Bicara pemilikan lahan yang sampai saat ini belum menunjukan keadilan, sehingga berapapun produksi pertanian hanya akan habis untuk menyewa lahan yang dimiliki oleh orang perkotaan yang tidak pernah tahu tanahnya ditanami apa di desa. Sedangkan penguasaan lahan yang dimaksud, banyaknya lahan yang dikuasai oleh alat negara (TNI) maupun swasta nasional, perusahaan negara yang tidak mempunyai bukti hak guna usaha atau hak guna usahanya telah habis, bahkan ditelantarkan. Bagian terbesar angka kemiskinan di pedesaan disumbangkan oleh buruh tani dan petani gurem. Petani yang hanya memiliki 0,3 Ha kebawah, sehingga tidak akan pernah mencapai kesejahteraan dari dunia pertanian apalagi hanya menjadi buruh tani. Kepemilikan lahan yang hanya sebesar itu tentunya tidak akan pernah mampu meningkatkan kesejahteraan petani meskipun dalam mengerjakan lahannya petani tidak mengenal panas dan hujan.
Data dari Sensus Pertanian 1983, mengungkapkan bahwa 40,80% lahan yang dikuasai petani luasnya di bawah 0,50 hektar, rata-rata petani menguasai hanya 0,26 ha lahan. Sedangkan yang menguasai lahan di atas lima hektar hanya 2,4% dari total lahan pertanian, atau rata-rata penguasaan 8,11 ha. Sepuluh tahun kemudian, Sensus Pertanian 1993, menyebutkan bahwa penguasaan lahan di bawah 0,5 ha turun dari rata-rata 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Begitupun jumlah petani yang menguasai lahan di atas lima hektar turun dari 2,4% menjadi 1,3%. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menunjukan, saat ini 0,2 % orang Indonesia menguasai 56% tanah diseluruh Indonesia. Merupakan ironi tersendiri didalam sebuah negara yang 37% masyarakat produktifnya bekerja di sektor pertanian. Sehingga seberapapun besarnya produksi pertanian di Indonesia yang akan mendapatkan keuntungan besar adalah pemilik tanah.
Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada petani juga dinilai sebagai salah satu penyebab kemiskinan petani menjadi semakin tertekan. Kebiajakan pemerintah diakui memang terlihat bagus pada konsepnya dan seakan semua masalah dapat teratasi dengan memahami konsep tersebut. Namun kelemahan program tersebut tampak jelas sekali pada penerapannya karena konsep kebijakan tersebut tidak diiringi dengan peraturan (undang-undang) khusus sehingga penyalahgunaan bantuan tersebut semakin melebar. Seperti contoh pada

Apabila diteliti secara seksama faktor penyebab kemiskinan petani tidak hanya dipicu oleh kepemilikan lahan, tetapi juga sering dipicu oleh kebijakan pemerintah yang terkesan setengah hati untuk berpihak kepada petani, karena tidak disertai perangkat aturan yang akan memberi sanksi apabila kebijakan tersebut tidak dijalankan. Sebagai contoh tentang kebijakan pembebasan impor pangan// Kebijakan tersebut mesti dipertimbangkan/ karena regulasi tersebut merupakan bencana yang permanen, bagi para petani. Seperti diketahui, sejak 2 maret 2011, pemerintah telah memberlakukan Inpres No.5/2011, tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional, dalam Menghadapi Cuaca Esktrim, yang diarahkan kepada 11 institusi pemerintah terkait. Dalam Inpres tersebut, diantaranya mengatur tentang Kementerian Pertanian, yang ditugaskan menyediakan, dan menyalurkan bantuan benih, pupuk, dan pestisida secara cepat, kepada petani yang mengalami gagal panen (puso). Dan bagi petani yang mengalami puso, diberikan bantuan usaha tani.



Solusi yang Pernah Ditawarkan
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan pertanian pada tahun tersebut tidak terlepas dari dukungan berbagai sektor lain terkait dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Departemen Pertanian. Berbagai kegiatan strategis yang dilaksanakan Departemen Pertanian, merupakan kegiatan yang spetakuler untuk mendongkrak pertumbuhan sektor pertanian utamanya indikator makro. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya adalah:
• Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) yaitu melalui Peningkatan Produksi dan Produktivitas, Peningkatan distribusi dan akses pangan, Konsumsi, diversifikasi dan keamanan pangan, Kegiatan Pendukung,
• Program Pengembangan Agribisnis (PPA) yaitu melalui Peningkatan kualitas pertumbuhan produksi pertanian, Pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil, Pengembangan Pasca Panen dan Peningkatan Mutu Komoditas Ekspor,
• Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PKP) yaitu melalui Peningkatan kapasitas, posisi tawar petani dan kualitas SDM pertanian, Pemberdayaan kelembagaan pertanian, Bimbingan dalam peningkatan promosi dan proteksi komoditas pertanian (legislasi dan regulasi),
• Revitalisasi Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yaitu melalui Bantuan Benih kepada Petani, Penjaminan Kredit Pertanian, Bantuan Bunga Kredit Modal Investasi, Stabilisasi/Kepastian Harga Komoditas Primer melalui DanaPenguatan Modal – Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM – LUEP), Penyediaan dan Perbaikan Infrastruktur Pertanian,
• Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK)
• Revitalisasi Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA)
• Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN),
• Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K) (Deptan, 2007).
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang protektif untuk petani era 2004- pertengahan 2006 seperti larangan impor beras dan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah, subsidi pupuk, penyerapan gabah petani oleh pemerintah melalui program LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan) dan berbagai kebijakan protektif lainnya memang cukup berhasil memperbaiki kinerja ekonomi makro sektor pertanian. Tetapi walaupun demikian, indikator-indikator makro ekonomi sektor pertanian yang layak diberi apresiasi tersebut ternyata belum berkorelasi dengan kesejahteraan petani. Kalau kita merujuk pada indikator Nilai Tukar Petani (NTP), tahun 2005 NTP mengalami penurunan 15,55% dari 119,19 menjadi 100,66. Penurunan tersebut disebabkan oleh laju peningkatan indeks harga yang dibayar petani (1,17%) lebih tinggi dibanding laju peningkatan indeks yang diterima petani (0,86%) (Irawan, 2002).



Model pemberdayaan petani dapat dilihat melalui program PMUK (Penguatan Modal Usaha Kelompok) yang berperan sebagai menunjang pembentukan modal lebih lanjut. Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) adalah stimulasi dana bagi pelaku pertanian yang mengalami keterbatasan modal sehingga selanjutnya mampu mengakses pada lembaga permodalan secara mandiri. Fasilitasi penguatan modal usaha kelompok ini merupakan bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat petani, yang dikawal dengan kegiatan terkait yaitu penguatan kelembagaan petani dan peningkatan SDM petani melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan, monitoring, evaluasi, dan lainnya. Pemanfaatan dana PMUK ini dilakukan dalam format bergulir dalam rangka pemantapan kelembagaan kelompok menjadi lembaga usaha yang dapat meningkatkan kewirausahaan dan pengembangan usaha ekonomi produktif.
Pola pemberdayaan seperti ini diharapkan dapat merangsang tumbuhnya kelompok usaha dan mempercepat terbentuknya jaringan kelembagaan pertanian yang akan menjadi embrio tumbuhnya inti kawasan pembangunan wilayah. Pemberdayaan Corporate farming pernah diterapkan sebelum Cooperative Farming. Cooperative farming cenderung bersifat top-down atau sentralistik sehingga pengimplementasiannya sangat tidak optimal. Distribusinya menyebabkan upaya pemberdayaan tidak efisien dan kurang merata sehingga banyak daerah-daerah yang tidak terjangkau.

Perbaikan Gagasan Terdahulu
Hasil studi program P4K, seperempat abad program P4K telah mampu memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya 66.663 Kelompok Petani-Nelayan Kecil (KPK) sejak tahun 1979. Jumlah KPK yang aktif menjadi 58.118 KPK setelah proses validasi tahun 2003, dengan jumlah anggota keseluruhan 646.681 rumah tangga petani-nelayan kecil. KPK-KPK tersebut tersebar di 10.720 desa, 1973 kecamatan, 127 kabupaten dan 12 provinsi tahun 2002 dan 2005, jumlah anggota rumah tangga petani-nelayan kecil adalah 4,1 jiwa. Dengan demikian P4K telah melayani sekitar 2,5 juta jiwa penduduk miskin di pedesaan, dimana sekitar 2,1 juta jiwa diantaranya telah keluar dari garis kemiskinan (diolah berdasarkan Hasil Studi Dampak P4K oleh BPS, tahun 2002 dan 2005) (Harniati, Prosiding Seminar Nasional).
Pada masa Orde Baru, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai rata-rata 7% per tahun, namun perekonomian tetap rapuh karena sektor pertanian di pedesaan tidak mendapat porsi atau perhatian yang memadai dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin di Indonesia yang berasal dari kalangan petani. Hal ini mengundang perhatian yang sangat mendalam karena telah kita ketahui bersama bahwa kualitas dan keanekaragaman Sumber daya Alam (SDA) Indonesia sangat tinggi. Namun, tingginya potensi ini tidak dibarengi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengelolaannya yang memadai. Program-program pemerintah yang telah dicanangkan berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin namun tidak dapat mengurangi jumlah penduduk miskin yang berasal dari kaum petani. Data terakhir bulan Maret tahun 2009, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 2,43 juta jiwa, dari 34,96 juta jiwa (15,42 persen) menjadi 32,53 juta jiwa (14,15 persen) (www.bps.go.id).
Namun, jika mencermati proses pembangunan di Indonesia, aspek ekonomi masih dominan. Indikator penilaian tersebut mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang tidak linier dengan pembangunan sosial. Di Indonesia, momentum pertumbuhan ekonomi yang dalam 10 tahun terakhir (1998-2008) menunjukan angka kenaikan nyatanya belum menjadi stimulus pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 minus 13,1 persen. Di tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5,1 persen. Cadangan devisa yang semula US$33,8 miliar, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 yang menembus angka 6,1 persen belum memicu pengentasan kemiskinan karena pertumbuhan ekonomi makro belum mampu menggerakan ekonomi mikro atau sektor riil yang bersentuhan langsung dalam aktivitas masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Angka kemiskinan bergerak fluktuatif dari tahun ke tahun. Dibandingkan periode yang sama di tahun 2008, angka kemiskinan menunjukan penurunan. Maret 2008 lalu, BPS mengumumkan orang miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta atau 15 persen dari total penduduk Indonesia. Kemiskinan di tahun 2008 juga lebih rendah dibandingkan tahun 2007 yang mencapai 37,17 juta jira. Sementara data BPS periode 1996-1999 menunjukan jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta. Krisis ekonomi mengakibatkan kemiskinan meningkat tajam, dari 34,01 juta jiwa orang miskin di tahun 1996 meningkat menjadi 47,97 juta jiwa pada tahun 1999. Pada periode 2000-2005 angka kemiskinan menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta jiwa pada Februari 2005. Namun pada Maret tahun 2006, terjadi kenaikan angka kemiskinan yang drastis, yaitu mencapai 39,30 juta jiwa. Tren kemiskinan sangat tergantung dari situasi ekonomi domestik maupun internasional (Yamin, 2010)
Padahal sebagian besar lapangan kerja didominasi oleh sektor pertanian yang secara nyata sebagai penyokong sektor industri dalam menghasilkan produk sekunder. Jika dua hal di atas dapat ditingkatkan maka dapat dipastikan bahwa perekonomian masyarakat meningkat. Untuk itu perlu diciptakan suatu sistem penataan masyarkat khususnya petani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengangkat mereka dari garis kemiskinan.
Oleh karena itu, Cooperative Farming merupakan upaya dalam mengatasi masalah kemiskinan di sektor pertanian. Perbaikan sistem yang ada seperti Corporate farming diubah menjadi program pemberdayaan Cooperative Farming. Program tersebut cenderung terdistribusi hingga ke daerah pertanian pedesaan karena sifatnya yang bottom-up atau desentralistik. Pencapaian program pemberdayaan sangat efisien dan optimal karena melibatkan banyak pihak selain petani.

Pihak yang berkaitan dengan Cooperative farming
Menurut Kuswanto (2011), Petani gurem per definisi adalah petani pengguna lahan yang menguasai lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah mereka relatif banyak yakni 13,3 juta rumah tangga (55 % dari total petani pengguna lahan), sebagian besar berada di perdesaan (10,6 juta rumah tangga) dan sebagian kecil lainnya di perkotaan (2,7 juta rumah tangga). Dengan lahan begitu sempit, pendapatan yang mereka peroleh dari budidaya tanaman sangat terbatas sementara akses ke sumber pendapatan lainnya juga langka. Tak diragukan bahwa mereka termasuk diantara 31,53 juta jiwa warga miskin yang tercatat oleh BPS sampai Maret 2006. Namun di sisi lain mereka merupakan produsen padi yang di negeri ini ikut menentukan nasib ketahanan pangan nasional. Demi ketahanan pangan nasional, mereka “harus” menanam padi meskipun tidak selalu dan selamanya menguntungkan. Keharusan itu memang bukan instruksi ekplisit yang bisa dipersoalkan dasar hukumnya, melainkan lebih merupakan hasil proses penggiringan kolektif yang membuat mereka tak punya pilihan lain yang layak. Maka menjadi dilema yang rumit bagaimana mengentaskan mereka dari kemiskinan sementara budidaya padi yang hanya memberikan pendapatan terbatas tak boleh ditinggalkan.
Tentu saja masalah kemiskinan di sektor pertanian tidak bisa disalahkan pada salah satu pihak, terutama pemerintah. Tujuan pemerintah adalah untuk menyejahterakan rakyat melalui program-programnya. Program tersebut sudah dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu mengetahui apa yang diinginkan oleh rakyat-rakyatnya. Melalui DPR, aspirasi masyarakat dapat tersalurkan dan pelaksanaannya dilakukan oleh para menteri-menteri kabinet. Dalam hal ini, sistem koordinasi dan informasi antarkelembagaan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi miskomunikasi yang menyebabkan adanya kesalahan dalam mengimplementasikan kebijakan yang ada. Semua hal di atas dilakukan oleh pemerintah pusat selaku pembuat kebijakan secara umum. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang dipisahkan oleh lautan, pemerintah pusat tidak serta merta terjun langsung melaksanakan kebijakannya, dalam hal ini tiap-tiap daerah memiliki kepala daerah masing-masing berikut dengan para pejabat-pejabatnya. Tiap daerah memiliki otonominya masing-masing. Sektor pertanian ditangani oleh Kementrian Pertanian pada pemerintah pusat dan Dinas Pertanian pada pemerintah daerah.
Pemerintah selaku agen of control mempunayi kegiatan yang masing-masing mempunyai anggaran tersendiri. Anggaran tersebut dipergunakan untuk membeli barang yang berguna bagi masyarakat. Bentuk anggaran disalurkan ke tiap daerah melalui APBD yang telah direncanakan dan disetujui oleh pemerintah pusat. Diperlukan danya kecakapan melihat kondisi riil pettanian pada tiap daerah dan penanganannya apabila terdapat kendala-kendala. Selain pemerintah, masyarakat pun harus mendukung program pemerintah yang ada. Kesepakatan antara kedua belah pihak sangat diperlukan agar program yang dibuat maksimal dalam pelaksanaannya. Ekspektasi masyarakat di sini sangat diperlukan agar mendukung program pemerintah. Namun, apabila ada penyimpangan entah dari pemerintah maupun masyarakat maka proses persetujuan terhadap suatu kebijakan harus dirundingkan kembali dan diambil jalan tengahnya melalui musyawarah.
Mahasisiwa pertanian selaku agen of change diperklukan guna membawa perubahan. Mereka dibutuhkan sebagai penyuluh pertanian di daerah yang membutuhkan tenaganya, dimana keadaan para petani sesungguhnya berpendidikan rendah sehingga sangat diperlukan orang-orang yang ahli di bidang pertanian, baik dalam hal praktek pertanian dan pembaharuan teknologi pertanian. Namun tidak hanya mahasiswa pertanian saja yang yang wajib mendampingi petani, mahasiswa lainnya pun mempunay kewajiban secar tidak langsung guna mengentaskan masalah petani yang biasanya mencakup masalah social dan ekonomi. Kesemuanya merupakan satu-kesatuan yang dapat menghasilkan suatu produktivitas pertanian, efisiensi dalam pengelolaan pertanian dan dapat membangun martabat para petani dalam mencapai kesejahteraannya.
Kaum-kaum intelektual pun sangat diperlukan, karena merekalah perancang atau otak di balik kebijakan. Dalam arti pemerintah pun butuh orang-orang yang cerdas dan pintar dalam membuat kebijakan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kaum intelektual tidak harus yang sudah lanjut usia, namun kaum-kaum pemuda pun bisa menjadi kaum intelektual, contohnya saja mahasiswa. Mahasiswa merupakan para penggerak negeri, yang nantinya akan menjadi benih-benih bangsa dan menggantikan kaum intelektual terdahulu.
Pihak pendukung (peminjam modal, asuransi, koperasi, dll) turut berperan dalam meningkatkan sector pertanian. Investor-investor besar harus bias dan mau menanam modalnya disektor pertaniana guan menarik minat perusahaan lain utnuk terus mamajukan pertanian di Indonesia. Lembaga-lembaga keuangan pun harus ikut berperan, terutama bank-bank konvensional dan bank-bank syariah dan pegadaian negara yang dapat menjangkau ke pelosok desa pertanian.



Langkah-langkah Strategis
Berdasarkan permasalahan dan pemahaman kondisi eksternal petani yang demikian, maka model Cooperative Farming dapat digunakan sebagai alternatif pemberdayaan usahatani. Model pemberdayaan petani melalui penyatuan fisik lahan milik keluarga petani atau kelompok petani yang kemudian dikelola secara bisnis agar terpenuhi skala ekonomi. Cooperative Farming mengombinasikan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah. Rekayasa sosial dilakukan dengan mengetahui secara empiris dan studi kasus mengenai kondisi pertanian pedesaan. Rekayasa ekonomi dilakukan dengan pengembangan akses permodalan untuk pengadaan saprodi dan akses pasar. Rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan pencapaian teknologi yang biasa digunakan petani. Terakhir, rekayasa nilai tambah dilakukan melalui pengembangan usaha off-farm dari produk primer menjadi produk sekunder. Ketiga rekayasa tersebut harus dikoordinasi secara vertikal dan horizontal sehingga akan melibatkan banyak pihak yang diwadahi dalam satu kemitraan.
Pihak yang dilibatkan dalam Cooperative Farming adalah petani, swasta, pemerintah dan mahasiswa. Petani akan bertindak sebagai anggota sekaligus pengelola. Sekelompok petani yang sudah dibentuk dari beberapa kepala keluarga harus secara aktif mengelola perencanaan on-farm (produk primer) dan off-farm (produk sekunder) dengan aset-aset seperti lahan pertanian dan teknologi yang digunakan. Peran swasta di sini karena fungsinya sebagai investor atau penanam modal dikarenakan investor memiliki minat terhadap Cooperative Farming tersebut karena pengelolaannya tidak hanya menghasilkan produk primer saja tapi juga produk sekunder yang memiliki nilai tambah. Pihak swasta akan menyediakan berbagai sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk dan obat-obatan untuk berusahatani.
Selain itu, pihak swasta juga juga bertanggung jawab sebagai penampung produksi (badan penyanggah produk pertanian sekunder) dan mitra pemasaran. Sementara pemerintah bertindak sebagai fasilitator sekaligus katalisator dalam kegiatan perencanaan, penyusunan strategi usaha, introduksi teknologi terapan spesifik lokasi yang efisien, pengadaan modal, saprodi serta fasilitator dalam proses pemasaran hasil. Di sini, peran mahasiswa melalui institusi perguruan tinggi melalui Praktek Kerja Lapangan (PKL) dilibatkan sebagai tenaga penyuluh pertanian pedesaan, terutama meningkatkan pendidikan bidang ilmu pertanian berupa bagaimana cara untuk mengelola lahan pertanian yang baik serta teknologi yang akan digunakan, pendidikan mengenai strategi pemasaran secara sederhana, lebih mengenalkan kepada mereka bagaimana cara mengelola produk pertanian (produk primer) menjadi suatu barang (produk sekunder) yang memiliki nilai tambah serta sebagai pihak yang menghubungkan antara petani dengan swasta dan pemerintah.


















Gambar 1. Rancang Bangun Model Cooperative Farming
Sumber : http://pse.litbang.go.id
Permasalahan lahan menjadi kondisi umum bagi para petani. Produktivitas sistem kelola sawah yang tinggi dan harga jual gabah yang bagus, membawa keberuntungan usaha bagi petani, yaitu petani pemilik lahan yang agak luas, lebih dari satu hektar. Setiap petani ideal memiliki lahan minimal dua hektar per Kepala Keluarga (KK). Setiap desa memiliki 50-70 KK petani (http://www.litbang.deptan.go.id/).
Cooperative Farming dalam manajemen parsial harus memiliki luas lahan 50 – 100 hektar. Untuk itu, dalam setiap desa bisa dibentuk Cooperative Farming 1 – 2 perusahaan (industri on-farm dan off-farm). Tingkat efisiensi produk akan semakin meningkat seiring dengan adanya diferensiasi tugas dalam Cooperative Farming tersebut.
Untuk membentuk Cooperative Farming dibutuhkan pihak yang bias mengkoordinir. Diantaranya pemerintah selaku pembuat kebijakan, swasta sebagai pemberi modal dan ditambah mahasiswa sebagai tenaga penyuluh untuk pemberdayaan masyarakat petani. Mahasiswa disini tidak hanya berasal dari bidang pertanian saja namun dari berbagai bidang seperti teknologi pertanian, social ekonomi serta budaya juga sangat dibutuhkan. Ketiga pihak tersebut membentuk suatu manajemen Cooperative Farming. Manajemen Cooperative Farming terdiri dari manajemen korporasi dan manajemen parsial. Sistem manajemen lalu dikelola oleh sekelompok para petani berdasarkan hasil musyawarah antara petani, mahasiswa, pemerintah dan swasta.

















BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Cooperative farming dinilai bisa menjadi jalan tengah untuk memenuhi pengadaan sektor pertanian Indonesia yang sedang tersendat-sendat. keterbatasan lahan di Jawa membutuhkan solusi yaitu mulai melakukan ekspansi pertanian di luar Jawa. Namun disatu sisi, daerah luar Jawa belum memiliki infrastruktur pertanian yang mencukupi (Bagus, 2011).
Cooperative farming adalah sebuah sistem pertanian dengan menerapkan cara panggarapan lahan yang relatif luas secara bersamasama dalam satu sistem pengelolaan oleh sebuah perusahaan atau korporasi. Pemilik lahan seluas itu bisa jadi lebih dari satu orang, maka dari itu perlu sebuah kesepakatan terkait dengan hasil produksi pertanian yang akan diperoleh. Di tempat ini, pertanian yang dikembangkan adalah pertanian organik, sesuai dengan salah satu butir kesepakatan yang termaktub dalam MoU. Ruang lingkup kerjasama kedua belah pihak mencakup manajemen pertanian yang meliputi pelatihan, pengawasan, dan rembug saran dalam budi daya pertanian. Selain itu juga penyediaan modal kerja berupa bibit padi, pupuk majemuk organik dan pestisida, menerapkan Tekhnologi Budi Daya Pertanian modern agar diperoleh hasil produksi optimal, persiapan tenaga kerja dan lahan pertanian, serta pasca panen dan pemasaran (Anonim, 2010).
Konsep Corporated Farming pada hakekatnya merupakan upaya kerjasama melalui satu sistem management, dengan cara menggabung usaha tani yang kecil menjadi suatu usaha skala besar yang memenuhi skala ekonomi sehingga menjadi lebih efisien, produktivitas tinggi, produk homogen, serta kualitas produksi yang lebih tinggi yang menjadi prasyarat untuk meningkatkan daya saing, nilai tambah dan meningkatkan kualitas produksi. Mekanismenya, usaha tani kecil yang bergabung dalam suatu hamparan/wilayah dikelola dengan sistem management pertanian yang baik, seperti menagement mekanisasi, varietas yang sama, treatment teknologi yang sama, sistem panen yang baik dan pengelolaan pasca panen yang baik (Anonim, 2011).
Model Cooperative Farming dapat digunakan sebagai alternatif pemberdayaan usahatani. Model pemberdayaan petani melalui penyatuan fisik lahan milik keluarga petani atau kelompok petani yang kemudian dikelola secara bisnis agar terpenuhi skala ekonomi. Cooperative Farming mengombinasikan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah. Rekayasa sosial dilakukan dengan mengetahui secara empiris dan studi kasus mengenai kondisi pertanian pedesaan (Niken, 2009).
Menurut Sony (2010), Kebijakan harga dasar, KUT, intensifikasi, subsidi pupuk dan pestisida, serta kebijakan lain yang selama ini diterapkan justru menyebabkan penurunan kesejahteraan. Ini aneh, tetapi itu kenyataan. Penyebabnya, kecilnya skala usaha petani dan terfragmentasi. Persoalan ini akan menyebabkan posisi tawar petani rendah sehingga mereka hanya menerima ''harga sepihak''. Penggunaan sarana produksi termasuk penggunaan mekanisasi pertanian menjadi kurang efisien. Padahal, upah tenaga kerja makin tinggi. Cooperative farming (CF) datang dengan beberapa konsep yang bisa menyelesaikan persoalan karena skala usaha menjadi efisien, penggunaan faktor produksi tanah, modal, teknologi, manajemen, dan pemasaran menjadi efisien, sehingga akhirnya posisi tawar petani menjadi kuat.
Model Cooperative Farming merupakan model pemberdayaan masyarakat yang sangat baik di pedesaan. Selain industri hulu, Cooperative Farming juga memenuhi skala industri pengolahan (industri hilir). Karena karakteristik pertanian Indonesia memiliki keragaman biofisik-sosek antarruang sehingga memerlukan pengelolaan secara desentralisasi atau bottom-up. Pengelolaan pertanian yang tidak bergantung pada pusat (top-down atau sentralistik) membuat distribusi pemberdayaan masyarakat petani semakin terjangkau. Namun kebijakan tersebut harus dibarengi dengan konsistensi implementasi kebijakan secara berkelanjutan.
Cooperative farming adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan tetap menjamin kepemilikan lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat dicapai. Proses menuju konsolidasi lahan ini akan berjalan apabila petani dengan kepemilikan lahan sempit mempunyai kesempatan, kemampuan dan kemauan mencari alternatif pekerjaan lain (off-farm dan non-farm), yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Proses tersebut dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan petani dan perkembangan lingkungan agribisnis di wilayah yang bersangkutan (Mustamam, 2010).






















BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
1. Model Cooperative Farming merupakan model pemberdayaan masyarakat yang sangat baik di pedesaan.
2. Cooperative Farming melibatkan banyak pihak selain petani, yaitu pemerintah, swasta dan sekaligus mahasiswa pertanian sehingga tidak sedikit orang yang dilibatkan.
3. Adanya keterikatan antara sub-sektor hulu (hasil pertanian) dan sub-sektor hilir (pascapanen dan pemasaran) diharapkan mampu meningkatkan efisiensi rantai pemasaran produk hasil pertanian.

4.2 Rekomendasi
1. Pemerintah hendaknya mampu bekerjasama dengan mahasiswa dan tokoh masyarakat guna mengentaskan kemiskinan khususnya di tingkat petani.
2. Mahasiswa selaku agen of change mampu membawa perubahan khususnya pengentasan kemiskinan di tingkat petani.









DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2010. Corporated Farming Perlu Disesuaikan Budaya Indonesia. http://www.sinartani.com/sorotan/corporated-farming-perlu-disesuaikan-budaya-indonesia-1257739444.htm [diakses tanggal 18 April 2011].

Anonim. 2011. Pertanian Modern Dengan Sistem Cooperative farming. http://www.sragenkab.go.id/berita/berita.php?id=464 [diakses tanggal 18 April 2011].

Bagus, Indro. 2008. Corportate farming, jalan tengah masalah pertanian. http://www.detikfinance.com/read/2008/03/14/132156/908437/4/corporate-farming-jalan-tengah-masalah-pertanian [diakses tanggal 18 April 2011].

Harniati. 2008. Program-program Sektor Pertanian yang Berorientasi Penanggulangan Kemiskinan: Pengalaman Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K) sebagai Sebuah Model Penanggulangan Kemiskinan di Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional: Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi III. Jakarta: LP3ES.

Mustam, Harry. 2011. Cooperative farming system. http://harrymustham.blogspot.com/2011/02/corporate-farming-system .html [diakses tanggal 18 April 2011].

Nuhung, Iskandar Andi. 2006. Bedah Terapi: Pertanian Nasional. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Simatupang, P., N. Syafa’at, A. Purwanto. 1997. Strategi dan Kebijaksanaan Pembangunan Agribisnis. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sony, Bagus. 2010. Menciptakan Budaya Perusahaan Petani. http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/12711 [diakses tanggal 18 April 2011].

Syafa’at, N. 2000. Peran Pertanian dalam Strategi dan Kebijaksanaan Pembangunan Ekonomi Nasional:




LANGKAH DAN PERAN MAHASISWA DALAM COOPERATIVE FARMING:
UPAYA MENGATASI KEMISKINAN MASYARAKAT SEKTOR PERTANIAN






KARYA TULIS ILMIAH





Disusun oleh:
Jaka Rismantoro
081510601074





PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011

LEMBAR PENGESAHAN


Karya ilmiah berjudul Lamgkah dan Peran Mahasiswa Dalam Penerapan Cooperative Farming : Upaya Mengatasi Kemiskinan Masyarakat Sektor Pertanian telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Pertanian Jember pada:
hari : Rabu
tanggal : 20 April 2011
tempat : Fakultas pertanian











Mengesahkan
Pembantu Dekan III
Fakultas Pertanian UNEJ



Ir.Sigit Prastowo, MP
NIP. 196508011990021001

RINGKASAN

Pembangunan sektor pertanian sudah selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi atau terpenuhinya kebutuhan pangan secara nasional, tetapi juga harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat petani. Pembangunan pertanian merupakan bagian yang terintegral dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Pembangunan yang dilakukan sudah semestinya mengandung nilai-nilai: (a) Tercapainya swasembada, dalam arti kemampuan masyarakat untuk memenuhi atau mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar yang mencakup: pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dasar, dan keamanan; (b) Peningkatan harga diri, dalam arti berkembangnya rasa percaya diri untuk dapat hidup mandiri terlepas dari penindasan dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka; dan (c) Diperolehnya kebebasan, dalam arti kemampuan untuk memilih alternatif-alternatif yang dapat dilakukan untuk mewujudkan perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan secara terus menerus bagi setiap individu maupun seluruh warga masyarakatnya.
Permasalahan yang dihadapi petani pada umumnya adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar-menawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan petani relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal petani tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur, lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan dan kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar. Meskipun tidak bias berbasis teknologi tinggi, tetapi landasan sektor pertanian yang kokoh diperlukan dalam memacu pertumbuhan perekonomian sekaligus mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan.
Ada faktor yang menyebabkan program pengentasan kemiskinan di Indonesia mengalami kendala dan bahkan dinilai gagal pada saat ini. Sebagian besar program pengentasan kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin (raskin) dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin.
Dalam konteks masalah, mahasiswa pertanian sangat diperlukan dalam menanggulangi masalah kemiskinan di sektor pertanian. Mereka dapat menjadi tenaga penyuluh di tiap daerah pertanian, dimana keadaan para petani sesungguhnya berpendidikan rendah sehingga sangat diperlukan orang-orang yang ahli di bidang pertanian, baik dalam hal praktek pertanian dan pembaharuan teknologi pertanian. Tidak hanya mahasiswa pertanian saja, mahasiswa yang berasal dari bidang lain pun bisa mendampingi para petani desa, misalnya saja mahasiswa jurusan ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, saktor pertanian tidak hanya dikaitkan dengan masalah pertanian saja tapi masalah pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya serta teknologi. Kesemuanya merupakan satu-kesatuan yang dapat menghasilkan suatu produktivitas pertanian, efisiensi dalam pengelolaan pertanian dan dapat membangun martabat para petani dalam mencapai kesejahteraannya.








SUMMARY.

Development of the agricultural sector, it is proper not only production-oriented or fulfillment of a national food needs, but also must be able to improve the living standards of farmers. Agricultural development is part of terintegral of economic development undertaken by the Indonesian nation. Development carried out it should contain the values: (a) Achieving self-sufficiency, meaning the ability of communities to meet or meet basic needs including: food, clothing, housing, health, basic education, and security, (b) Increase in Value themselves, in the sense of developing self-confidence to be able to live independently despite the oppression and not exploited by others for their interests, and (c) Receipt of freedom, in the sense of ability to choose alternatives that can be done to achieve improved quality of life or well-being continuously for every individual and all their peoples.
The problem faced by farmers in general are weak in terms of capital. Consequently saprodi use low-level, scale inefficiency because berlahan generally narrow, and because of financial problems driven bargaining position when the harvest is weak. In addition, the products were relatively low quality, because the general culture of rural farmers in conducting agricultural practices are still oriented towards family needs (subsistence), and not market oriented. In addition to internal problems of farmers, availability of supporting factors such as infrastructure, rural economic institutions, the intensity of counseling and government policy is necessary, in order to encourage farming and increase farmers' access to markets. Although not a high technology-based bias, but a solid foundation of the agricultural sector is needed in promoting economic growth and overcoming the problem of rural poverty.
There are factors that lead to poverty alleviation programs in Indonesia is experiencing problems and even considered to have failed at this time. Most of the poverty alleviation programs tended to focus on the distribution of social assistance for the poor. That, among other things, the form of rice to the poor (raskin) and Direct Cash Assistance program (BLT) for the poor. Efforts like this will be difficult to solve the problem of poverty because of the nature of assistance is not to empowerment, it can even lead to dependence. Aid programs oriented generosity of this government can actually worsen the morale and behavior of the poor.
In the context of the problem, students of agriculture is needed in tackling the problem of poverty in the agricultural sector. They can be FEAs in each agricultural region, where the state of the real farmers with low education is needed so that people who are experts in agriculture, both in terms of agricultural practices and renewal of agricultural technology. Not only agriculture students only, students who come from other fields can assist the rural farmers, for example, students majoring in economics and social. In this case, agriculture saktor not only associated with the agricultural problem alone but a problem of education, economic, social and cultural and technological. All of it is the unity that can produce an agricultural productivity, efficiency in agricultural management and to establish the dignity of farmers in achieving their welfare.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenaan-Nya karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan. Penulisan karya ilmiah dengan judul Peran Mahasiswa Dalam Penerapan Cooperative Farming : Upaya Mengatasi Kemiskinan Sektor Pertanian bertujuan agar pembaca mengetahui keadaan kemiskinan petani di Indonesia dan cara-car untuk penanggulangannya.
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapar digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerinath dalam menentukan kebijakan guna mengentaskan kemiskinan. Sebagai bahan wacana dan informasi untuk mahasiswa dan dapat digunakan dalam penelitian lebih lanjut.
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pembaca sehingga pembaca dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani pada umumnya.


Jember, April 2011



penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
RINGKASAN iii
SUMMARY v
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL ix

BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan dan Manfaat 3
1.3.1 Tujuan 3
1.3.2 Manfaat 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
BAB 3. ANALISIS DAN SINTESIS 6
3.1 Solusi yang Pernah Ditawarkan 7
3.2 Perbaikan Gagaasan Terdahulu 9
3.3 Pihak-pihak yang Berkaitan dengan Cooperative Farming 11
3.4 Langkah-langkah Strategis 14

BAB 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 18
4.1 Kesimpulan 18
4.2 Rekomendasi 18
DAFTAR PUSTAKA 19

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman
1.

2. Perkembangan Sektor Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Lapangan Pekerjaan………………………………………….
Rancang Bangun Model Cooperative Farming…………….....
4

15